Bahasa dan Aksara Lampung Terancam Punah

Bandar Lampung, Kompas - Bahasa dan aksara Lampung terancam punah apabila lambat laun masyarakatnya tidak lagi terbiasa menggunakan dalam kehidupan setiap hari. Untuk itu, pendidikan formal perlu menggalakkan muatan lokal bahasa dan aksara Lampung selalu terpelihara.

Effendi Sanusi, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, mengusulkan sejumlah cara untuk mencegah hal ini. ”Salah satu yang terpenting adalah peranan pendidikan muatan lokal di sekolah,” kata Effendi, Kamis (25/3) di Museum Negeri Ruwa Jurai, Lampung.

 ”Jika ini (bahasa dan aksara) lenyap, generasi yang bertanggung jawab atas musibah ini adalah generasi sekarang. Jangan sampai aksara daerah mati tidak terurus,” kata Effendi.
Usulan penyelamatan bahasa dan aksara daerah Lampung ini yang disampaikannya kepada pemerintah daerah antara lain pemuatan peraturan daerah tentang penulisan nama-nama jalan, fasilitas umum, dan kantor pemerintah dengan dwiaksara, serta membuka laman (situs web) yang terkait aksara daerah.

”Jalur formal lewat pendidikan di sekolah bisa menjadi langkah efektif. Bahasa daerah dan aksara Lampung mesti terus diperkenalkan di sekolah sehingga akhirnya bisa difungsikan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Effendi.

Menurut dia, media massa, baik elektronik maupun cetak, khususnya yang lokal, juga memiliki peran tak kalah penting. Ia mengimbau pengelola media lokal agar lebih membuat rubrik atau program yang berisi tentang bahasa dan aksara Lampung.

Aksara Lampung, menurut filolog dari Universitas Indonesia, Titik Pudjiastuti, dikenal pula dengan istilah kaganga. Ia mencatat, setidaknya ada enam macam bentuk khat (aksara) Lampung yang ragamnya dipengaruhi perubahan kebudayaan, termasuk datangnya agama.

Terancam punah
Menurut dia, penggunaan aksara maupun bahasa Lampung memang sudah demikian jarang. Penuturnya terus berkurang. Bukan tidak mungkin kebudayaan itu bisa punah suatu hari jika tidak ada lagi pelestarian. Ini misalnya terjadi pada aksara Kerinci dari Jambi yang kini diperkirakan sudah punah.
”Di Metro (kota di lampung), waktu saya ke sana 20 tahun lalu penuturnya (bahasa Lampung) sudah jarang, apalagi kini. Padahal, tahun 1940-an, bahasa dan aksara Lampung masih dipakai luas baik oleh muda-mudi maupun orang tua,” ungkapnya.

Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat mayoritas penduduk di Lampung saat ini adalah pendatang. Dari sekitar 7,3 juta warga Lampung, hanya 25 persen di antaranya yang merupakan penduduk asli. Mereka pun, berdasarkan data Dinas Kependudukan Lampung, mayoritas menetap di daerah pinggiran.
Berdasarkan pemantauan Kompas, di Bandar Lampung, penutur bahasa Lampung hampir tidak ditemui lagi. Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Bahkan, baik para pelajar maupun orang dewasa, bahasa pergaulan dari Jakarta sering diadopsi, misalnya ”lo” untuk penyebutan kamu dan ”gue” (saya).

Jika bahasa daerah terabaikan terus, berarti kematiannya hanya menunggu waktu. Karena itu, perlu segera diantisipasi. (Jon)

@kompas.com (Jumat, 26 Maret 2010 | 03:43 WIB)

3 komentar:

  1. wah bener tu....ane sendiri gx bza bhasa lmpung yg menggunakn dialek api/nyow, tpi luk bhza asli daerah kmi d kabupaten mesuji alhmdllh msh bisa....

    BalasHapus
  2. :D yang penting masih ada lah yg bisa sob... ty atas kunjungan'y sob???

    BalasHapus
  3. tolong lah adat lampung darurat kumpulkan kepala daerah dr masing masing tempat ini belum terlambat ,, segera pemerintah , dan bagi pendatang tolong kalian bantulah kami karna kalian tinggal di sini(lampung)

    BalasHapus